Monday, May 17, 2010

Urgensi Ujian Nasional


Tiap tahun Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengadakan Ujian Nasional (UN) untuk mengevaluasi hasil belajar siswa SMP dan SMA. Menurut Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), UN diperlukan untuk memetakan keadaan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari sekolah elit di perkotaan sampai sekolah gubuk reot di kampung pedalaman.
Dan sejauh ini pelaksanaan UN, belum pernah tercapai kelulusan 100% untuk seluruh wilayah Indonesia, dan hal ini tentunya sesuatu yang lumrah terjadi ketika dilakukan suatu ujian, entah apapun jenis ujian itu. Persentase kelulusan UN dari tahun ke tahun malah cenderung berfluktuasi. Mendiknas menyatakan bahwa UN itu ibarat laboratorium. Mediknas menyatakan bahwa jika hasil UN seorang siswa itu jelek jangan lantas laboratoriumnya yang disalahkan, tetapi “penyakitnya” ada pada siswa tersebut dan itulah yang terdeteksi oleh laboratorium.
Satu fakta yang pasti, UN digunakan sebagai standar baku untuk mengukur seluruh hasil belajar siswa selama tiga tahun di seluruh Indonesia dan juga sebagai penentu kelulusan siswa. Saya sendiri adalah siswa yang dulunya pernah mengikuti UN dan alhamdulillah sukses melewatinya. Saya setuju dengan ujian sebagai alat ukur, tetapi saya tidak sependapat dengan UN yang digunakan sebagai standar baku untuk mengukur seluruh hasil belajar siswa selama tiga tahun di seluruh Indonesia dan juga sebagai penentu kelulusan siswa. Menurut saya, UN adalah metode pengukuran yang keliru yang telah dibuat oleh Depdiknas.
Berikut ini adalah beberapa kekeliruan yang terdapat dalam  UN.
1. UN Menganggap Kemampuan Dasar Manusia Adalah Seragam.
Tiga mata pelajaran utama yang diujikan di dalam UN adalah Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Matematika merupakan kemampuan logika yang berhubungan langsung dengan kemampuan mengkuantifikasi objek. Kemampuan kuantitatif ini dipakai secara luas dalam bidang sains dan teknik.
Sedangkan Bahasa merupakan kemampuan logika & penalaran verbal. Kemampuan ini dibutuhkan dalam bidang ilmu-ilmu sosial seperti Ilmu Komunikasi, Ilmu Hukum, Ilmu Pemerintahan. Profesi-profesi yang membutuhkan kemampuan verbal yang baik misalnya wartawan, pengacara, public relations, dan juga politisi.
Mengacu kepada teori perbedaan fungsi otak yang dikemukakan oleh Roger Sperry, kedua kemampuan ini (matematika & bahasa) terletak pada belahan otak yang sama, yaitu otak kiri (left hemisphere). Sedangkan belahan otak yang satunya lagi yaitu otak kanan berhubungan erat dengan kemampuan seni, seperti: kreativitas, bentuk atau ruang, emosi, musik dan warna. Masalahnya, umumnya manusia tidak menggunakan kedua belahan otak ini secara sama baiknya, melainkan hanya dominan pada salah satu belahan otak saja. Dedengkot fisika Albert Einsten pun bukanlah seorang seniman, dia seorang saintis yang menggunakan otak kirinya dengan sangat baik. Hanya Leonardo Da Vinci yang tercatat dalam sejarah sebagai seorang seniman ulung dan sekaligus sebagai ahli teknik & ilmuwan yang cakap, dia merupakan manusia multi talen yang menggunakan kedua belahan otaknya secara sama baiknya.
Kembali kepada UN, jadi berdasarkan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa UN hanya mempertimbangkan kemampuan otak kiri saja yang berhubungan dengan matematika & bahasa, atau dikenal juga dengan istilah kemampuan kognitif. UN sama sekali tidak mengukur kemampuan seni. UN sama sekali tidak mempertimbangkan bahwa setiap manusia adalah unik (unique). Tiap manusia memiliki kemampuan dasar yang berbeda. Seseorang yang tidak mahir dalam bidang matematika atau bahasa, boleh jadi dia unggul dalam bidang seni, mungkin suatu saat dia berpotensi menjadi seniman ulung. Akan tetapi, UN terlanjur mencap dia bodoh ketika dia mengikuti UN dan gagal di Matematika, misalnya. Dan seorang yang jago matematika belum tentu dia akan mengerti tentang nada, melodi, kanvas, warna, lukisan, dan elemen-elemen kecerdasan seni lainnya!
UN tidak mempertimbangkan bahwa setiap manusia adalah unik dan hanya mengukur kemampuan kognitif siswa dengan mengabaikan kemampuan afektif dan psikomotorik mereka!

2. UN Menganggap Proses Pendidikan Di Seluruh Wilayah Indonesia Berlangsung Dalam Fasa yang Identik
Saya ingin bertanya, apakah sama proses belajar yang berlangsung di sekolah elit di Jakarta dengan yang berlangsung di sekolah gubuk reot di kampung pedalaman Sumatera, Kalimantan, dan Papua???
Saya dapat mengatakan bahwa prosesnya sangat berbeda. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut. Pertama, persebaran fasilitas infrastruktur pendidikan di seluruh Indonesia tidak merata. Kedua, kualifikasi guru yang mengajar di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia tidak sama. Di sekolah pedalaman yang kekurangan guru bahkan terpaksa diberlakukan kebijakan guru rangkap, misalnya guru matematika merangkap sebagai guru bahasa. Ketiga, budaya yang mempengaruhi proses belajar di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia sangat beragam. Budaya orang Sumatera tentu berbeda dengan orang Kalimantan, budaya orang Papua tentu berbeda pula dengan orang DKI Jakarta.
Oleh karena itu, bagaimana mungkin proses yang (-berlangsung dalam fasa) berbeda dapat diukur dengan satu alat ukur yang sama, yaitu UN??
Sebagai analogi mari kita perhatikan proses berikut. Air dapat berada dalam fasa cair, padat (es), atau gas (uap) tergantung kepada temperatur dan tekanannya. Masing-masing fasa berlangsung dalam proses yang berbeda sehingga dengan sendirinya akan memiliki karakteristik yang berbeda pula. Secara gamblang saja, kita tentu tidak dapat mengukur volumenya ketika berada dalam fasa cair, padat (es), atau gas (uap) dengan satu alat ukur yang sama! Kita butuh alat ukur yang berbeda untuk masing-masing fasa! Kita butuh alat ukur yang unik (unique) untuk setiap proses yang berbeda!

Akhirnya saya dapat mengatakan sebuah kesimpulan bahwa UN yang dianggap sebagai laboratorium tersebut adalah sebuah laboratorium yang cacat karena laboratorium tersebut memberikan informasi diagnosis yang sifatnya sangat parsial! Sekali lagi, saya bukan orang yang anti terhadap ujian. Saya tetap memandang bahwa ujian sebagai alat ukur diperlukan untuk mendapatkan informasi tentang kualitas objek. Namun, saya berpendapat bahwa UN sebagai alat ukur menggunakan metodologi yang keliru. Sangatlah tidak adil menyama-ratakan sekolah elit berfasilitas lengkap di perkotaan dengan dengan sekolah gubuk reot di kampung pedalaman. Bagaimana mungkin hal ini bisa disama-ratakan ketika kesenjangan pembangunan infrastruktur, ekonomi, dan pendidikan di Indonesia begitu lebar.

3 comments:

  1. Bukane bahasa itu di otak kanan ya?

    ReplyDelete
  2. @ Teratai Bunga

    Makasih atas komentarnya, sehingga saya coba cek lagi ke buku. Dalam buku "Why Men Don't Listen & Women Can't Read Maps" karangan Allan dan Barbara Pease, dikutip bahwa:

    Kemampuan pada otak kiri berhubungan dengan:
    - matematika
    - VERBAL
    - LOGIKA
    - fakta
    - deduksi
    - analisa
    - praktis
    - lineal
    - melihat rincian detil
    - syair nyanyian

    Kemampuan pada otak kanan berhubungan dengan:
    - kreatif
    - artistik
    - visual
    - intuisi
    - gagasan
    - khayalan
    - holistik
    - ruang
    - mengerjakan beragam hal
    - lagu nyanyian

    Demikian, semoga membantu..

    ReplyDelete
  3. Your terms is like an scientist. Very interesting

    ReplyDelete

Terima kasih telah meninggalkan komentar, semoga menjadi bacaan yang bermanfaat.